Rabu, 11 Mei 2011

Balada Pustaka Rakyat


Pustaka Rakyat. Kubutuh kau seperti ikan butuh air. Terutama disaat-saat kusedang merajut mimpi, menjawab doa-doa malam ayah ibuku.

Pustaka Rakyat. Jika seandainya gempa tidak melanda daratan tempat aku dilahirkan, mungkin saat ini kau tak rata dengan tanah.

Pustaka Rakyat. Kota ini, ditempat ku menuntut ilmu, berdirilah engkau dengan megahnya. Di depanmu juga berdiri sebuah bangunan tempat orang nomor satu di daerah ini bekerja.

Pustaka Rakyat. Kau diberi nama seperti nama pahlawan kebanggaan daerah ini. Oh, bukan, kebanggaan Indonesia, negara kita, karena ia adalah seorang proklamator. Lihat saja, patung pahlawan itu berdiri kokoh di halamanmu. Ia tersenyum, mungkin ia bahagia melihat ibu-ibu, bapak-bapak, mahasiswa, murid SMA,SMP, dan SD datang kepadamu.

Pustaka Rakyat. Apakah kau tahu bagaimana cintanya pahlawan itu pada buku?Ia lah orang yang membawa enam belas peti buku dari pengasingannya di Tanah Merah ke Bandaneira. Ia mencintai buku seperti ia mencintai negara yang diperjuangkannya.

Pustaka Rakyat. Lihatlah dirimu. Berdiri dengan kokohnya, dilengkapi berbagai macam fasilitas. Buku-bukumu mungkin tak sebanyak buku-buku di perpustakaan universitas ternama. Tapi cukuplah untuk melengkapi referensi makalah-makalah, tugas sekolah, bahkan skripsi mahasiswa.

Tapi tahukah kau, Pustaka Rakyat. Banyak orang-orang yang membicarakanmu akhir-akhir ini. Kukatakan saja padamu, mereka membicarakan keburukanmu. Marahkah kau jika aku secara jujur mengatakannya padamu?Ah, kupikir kau tak akan marah, karena kau mugkin juga merasakannya.

Pustaka Rakyat. Aku heran, beberapa waktu lalu aku dan teman-temanku sedang membaca di ruang baca kelompok. Lalu datanglah seorang Ibu yang mengatakan bahwa tempat itu bukan ruang baca, tetapi tempat sembahyang. Beberapa waktu sebelumnya, ada lagi seorang ibu yang datang untuk makan dan tidur disana. Saat itu aku bingung, apakah matanya yang salah atau aku yang bebal. Tidakkah ia baca di depan pintu masuk tertulis dengan sangat jelasnya tulisan ruang baca grup. Sudah kukatakan padanya dengan baik-baik, tapi ia tetap bersikukuh dengan pendiriannya. Ah, sudahlah, mungkin tadi pagi ia menderita vertigo hingga susunan saraf-saraf otaknya kacau. Anggap saja begitu.

Pustaka Rakyat. Aku tidak pernah tahu kalau di pustaka ngobrol dan tertawa terbahak-bahak itu diizinkan. Maaf, bukan aku atau pengunjung yang lain yang melakukannya. Tapi pengelolamu. Ah, memalukan untuk mengatakannya padamu. Tapi begitulah kenyataannya. Tapi tenang, aku tidak akan menyalahkanmu. Kau tidak salah apa-apa.

Pustaka Rakyat. Ternyata kau dilengkapi juga dengan ruangan besar tempat pertemuan, perhelatan, atau acara-acara lain. Pernah suatu ketika, ketika kami sedang khusyuk membaca, terdengar suara gemuruh. Bukan, bukan dari langit. Tapi dari langit-langitmu. Lagi-lagi aku tidak tahu, apakah mereka yang sedang bersenang-senang disana tahu bahwa di bawahnya adalah pustaka. Tapi sekali lagi, aku tidak menyalahkanmu.

Pustaka Rakyat. Berapa banyak tuan-tuan yang ditugaskan menjagamu setiap hari?Setahuku, bukan satu atau dua. Tapi lebih dari itu. Tuan-tuan yang terhormat itu, adalah orang yang ditugaskan untuk membuat pengunjung merasa nyaman. Ah, jangankan merasa nyaman, orang-orang bahkan malas mengunjungimu lagi karena mereka.

Pustaka Rakyat. Tadi siang kawanku mengabarkan bahwa pengunjung tidak boleh lagi mencolokkan listrik ke komputer jinjingnya. Untuk mendisiplinkan alasannya. Peraturan baru lagi. Beberapa waktu lalu ada juga peraturan konyol yang mengharuskan pengunjung keluar ruangan saat sembahyang jumat.

Pustaka Rakyat. Sungguh, aku tidak menyalahkanmu.

Aku, hanya kecewa pada orang-orang yang digaji dari aliran dana rakyat.

Aku hanya kecewa pada keegoisan orang-orang dewasa yang membuat kebijakan yang mereka kira sangat bijaksana.

Aku hanya kecewa, mereka tidak bisa menjaga perasaan pahlawan yang didepanmu berdiri patungnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar